MIMIN, Sebuah Cerpen Oleh: Pion Ratulolly
oleh Pion Ratulolly pada 14 November 2010 jam 15:26
adalah simbol kemisteriusan cinta yang sulit kita pahami…
MIMIN
(sebuah cerpen dukungan terhadap Komodo sebagai Keajaiban Dunia)
AKU TIBA di Pulau Komodo ini setelah menapaki jalan udara. Sebab angin telah khatam menghantarkan jiwa-ragaku dari Bandar Udara El-Tari Kupang menuju Bandar Udara Komodo Labuan Bajo, Manggarai Barat-NTT. Hal pertama yang aku lakukan adalah jalan-jalan di bibir pantai. Sekedar menikmati matahari terbenam di ufuk barat nusa Komodo; nusa paling barat di Nusa Tenggara Timur. Menghirup amis pasir yang terkena air laut. Merasakan angin sore yang berhembus dengan sedikit berat, beraroma kental makhluk-makhluk pantai. Menyaksikan beberapa perahu nelayan yang menaikan layar menuju ke tengah samudera -sebagaimana yang dipesankan oleh nenek moyangku. Mendapati beberapa anak kecil berlarian di pantai, lalu menceburkan diri di air laut yang pun tak sudi melepas pagut di antara mereka. Menyaksikan pasir putih di pesisir pantai yang membentang elok mengkilat bak selendang sutra terurai milik sang permaisuri Pulau Komodo. Menatap barisan bebukitan menjulang yang berjejer mesra di dataran rendah yang selalu menantang genit kepada setiap mata yang memandang. Mungkin berniat mengajak orang yang memandang agar sesegera mungkin melahap tubuh pesona Pulau Komodo yang cantik menawan. Sedang pohon-pohon koli[1] berjejal tegar di bebukitan itu, menyimbolkan ketegaran alam beserta ketegaran penghuni yang ada di Pulau Komodo.
Bagiku, senja yang merangkak terbenam di ufuk barat melukiskan betapa keindahan adalah sesuatu yang harus disantap setiap insan. Apatah lagi bagi jiwa-jiwa yang selama ini telah dikuras keringatnya oleh kesibukan-kesibukan rutinitas yang menjadikan manusia tak ubahnya seperti robot-robot bernyawa. Bekerja dikebiri oleh waktu dan mendapatkan upah dikebiri oleh setumpuk kertas bernilai rupiah.
Sebagai tahap perkenalan awalku dengan pesona pulau ini, aku mencoba menenangkan, menyenangkan dan memenangkan otot dan otakku. Aku memancing di pinggir pantai. Tepatnya di atas fondasi pembatas pantai. Dan di situlah awal mula pertemuan kita yang telah digariskan di atas telapak tangan kita masing-masing.
“Maaf, permisi Nona! Apa aku boleh duduk di sini?” Ucapku dengan nada sedikit lebih lembut sebagai pembuka jalur komunikasi.
“Silahkan, Pak!” Jawabmu tenang. Setenang riak-riak yang menghempas di bibir pantai.
Aku kemudian duduk di sampingmu lalu mulai memancing.
“Kalau boleh tahu, Nona orang sini?”
“Iya.”
“Kelihatannya Nona suka memancing, yah?”
“Iya.”
Jawabanmu selalu saja singkat. Sesingkat senyum yang engkau simpulkan melalui kedua bibir tipismu yang merekah. Matamu yang jernih sesekali saja melirik ke arahku. Lirikan seperti puisi yang tak berlarik. Selanjutnya, engkau kembali berkonsentrasi dengan aktivitas memancingmu.
“O, iya. Aku hampir lupa. Namaku Gilbert. Aku dari Kupang. Kalau boleh tahu, nama Nona?” Ujarku sambil mengulurkan tangan tanda meminta perkenalan.
“Mimin.” Balasmu dengan sedikit kaku memegang tanganku sekejap lalu melepaskan.
“Maaf, Nona Mimin kerja yah?”
“Setelah tamat SMA dua tahun lalu aku tak bisa lagi melanjutkan pendidikan karena alasan ekonomi. Aku kemudian menjadi penjual ikan. Kerjaku setiap pagi adalah menunggu ikan yang pulang dibawa para nelayan lalu menjualnya di pasar.”
“Memangnya mata pencaharian penduduk di sini nelayan?”
“Ya, sebagian besar penduduk yang tinggal di Pulau Komodo ini adalah nelayan yang berasal dari Bima (Sumbawa), Manggarai (Flores), dan suku Bajau Bugis (Sulawesi Selatan). Suku Bajau awalnya suku yang hidup sebagai pengembara.”
“Apa ada penduduk asli pulau ini?”
“Penduduk asli Pulau Komodo adalah orang-orang suku Ata Modo. Tapi seiring dengan pendatang dari daerah yang lain maka darah, adat budaya dan bahasa telah bercampur dengan pendatang baru.”
“Wah, nampaknya saya sedang berhadapan dengan orang yang tidak salah. Penjelasan Nona cukup jelas dan padat.”
Dan engkau pun kembali menyembunyikan senyum termanismu. Menunduk membetulkan sarungmu yang tak berantakan sedikit pun. Sarung itu merupakan jahitan dari tenun khas daerahmu. Aku mendapati rambutmu yang dibiarkan terurai perlahan dihempas angin sepoi-sepoi sore hari.
Tetapi ada getaran aneh yang mulai bermain di dadaku. Jujur, sebagai seorang lelaki, apalagi jejaka, aku cukup peka memahami rasa yang mulai berkecamuk di dada. Sepertinya aku sedang jatuh cinta. Persisnya, jatuh cinta pada pandangan dan pendengaran pertama. Pandangan pertama karena senyum menawanmu yang pertama kali kau lemparkan tatkala menyebutkan namamu. Sedangkan pendengaran pertamaku karena penuturanmu tentang kehidupan sosial penduduk di tempatmu yang menurutku begitu runtun dan terkesan ilmiah. Tapi, sesegera mungkin aku tepis perasaan itu. Aku hanyalah orang baru di sini. Orang yang hanya datang untuk melakukan penelitian di Pulau Komodo. Tapi aku pun sampai pada sebuah pikiran picis, apakah salah jika cintaku bersemi di Pulau Komodo?
“O iya, Nona. Katanya Pulau ini terkenal dengan komodonya? Binatang yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1912 di harian nasional Hindia Belanda oleh Peter A. Ouwens, direktur Museum Zoologi Bogor. Apa benar ada?”
“Komodo atau Varanus Komodoensis atau Komodo Dragon atau Ora, penyebutan bagi orang kami, hidup dan berkembang biak di sini. Ia binatang khas yang dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Panjang tubuhnya mencapai 2-3 meter, dengan berat hingga 70-100 kilogram.”
“Memangnya dimana tempat hidupnya?”
“Komodo menyukai tempat panas dan kering. Ia hidup di daerah sabana atau hutan tropis pada ketinggian rendah. Jika malam tiba, komodo bersarang di lubang dengan dalam 1-3 meter sambil menjaga panas tubuhnya di malam hari.”
“Lalu makanannya apa saja?”
“Makanan komodo antara lain: kambing, rusa, babi hutan, dan burung. Tapi harus diingat, dalam keadaan tertentu, meskipun komodo adalah karnivora namun ia dapat berperilaku kanibal dengan memangsa Komodo lainnya. Indera penciuman pada lidahnya bisa ia gunakan untuk mendeteksi bangkai mangsanya hingga sejauh 9 kilometer. Tidak hanya itu, gigitannya yang mengandung racun dan bakteri yang mematikan, ditambah cakar depannya yang tajam merupakan senjata alaminya untuk memangsa.”
“Apa ada ciri khasnya yang mampu membedakan komodo dengan reptil lainnya?” Aku terus memburumu dengan amunisi-amunisi pertanyaan yang semakin ilmiah.
“Komodo juga mampu berlari 20 kilometer per jam dalam jarak yang pendek. Ia juga memanjat pohon, berenang, bahkan menyelam. Ia berkembang biak dengan bertelur. Akan tetapi, ada sebuah penelitian yang membuktikan terdapat cara lain komodo melakukan berkembang biak, yakni dengan cara partenogenesis.”
“Partenogenesis? Maksudnya?”
“Maksudnya komodo betina bisa menghasilkan telur tanpa dibuahi oleh jantan. Nah, diduga karena partenogenesis inilah yang telah menyelamatkan komodo dari kepunahan.”
“Wah, sekali lagi aku salut akan pengetahuan Nona. Aku salut.”
Dan bisu perlahan menyusup. Tanpa jawaban, engkau kembali tertunduk. Menyembunyikan senyum manismu yang kekanak-kanakan. Dan hal itulah yang membuat aku semakin tak kuasa menahan loncatan jantung di dalam tubuhku. Mungkin jantungku ikut memberikan dukungan persetujuan bahagia atas apa yang tengah aku rasakan. Ah, aku harus sadar; aku orang asing.
Tiba-tiba sebuah kejadian menghentakkan kita dari sunyi. Tali pancingmu terasa bergerak-gerak.
“Aduh, Pak. Tolong aku.” teriakmu seketika sambil terus memegang alat pancing yang bergerak-gerak semakin tak beraturan.
Aku yang sebelumnya diliput lamun lantas tersadar. Sedikit agak panik. Berdiri mendekatimu.
“Kamu pasti dapat ikan besar! Mari kubantu!” seruku, langsung berdiri dibelakangmu. Memegang kedua tanganmu yang sebelumnya telah memegang alat pancing, lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik tali pancing.
Saking kuatnya tarikan yang kita lakukan, tanpa terasa tiba-tiba tali pancing itu terputus.
“Ahhhhh!!!!!” teriakmu hiteris. Dan kita terpelanting jatuh ke belakang, di atas fondasi pembatas pantai.
Tanpa sengaja tubuhmu yang terpelanting dan menengadah ke atas, menindis tubuhku yang sedang dalam keadaan terlentang pula. Untuk beberapa detik hanya bisu yang berbicara. Dan selanjutnya, secepat kilat engkau berdiri sembari melepaskan alat pancing. Membersihkan sarung khas daerahmu yang sempat terkena pasir. Engkau menatapku. Dan aku yang masih terlentang di atas fondasi pembatas pantai itu, hanya mampu menatapmu dengan mimik serius. Memastikan bahwa engkau dalam keadaan baik adanya. Memastikan bahwa engkau tak marah padaku.
Namun seulas senyum pun mulai mengembang dari bibir tipismu. Engkau tertawa kecil melihat aku yang jatuh terperosok. Dan spontan aku pun ikut tersenyum kecil. Entah senyuman yang bermakna apa, aku juga kurang memahami. Yang jelas bagiku, aku tersenyum karena melihatmu tersenyum. Itu saja.
*****
Aku tiba-tiba sedikit marah karena tanpa diundang malam datang bertandang di antara monumen kekariban yang susah payah mulai kita bangun. Malam kemudian menjelma serupa drakula yang bersiap mengisap darah di antara kita. Drakula yang sedianya mencabut nyawa tanpa mafhum bahwa kematian adalah penyelesaian dari segala proses kehidupan di dunia. Dan malam menjadi benteng pemisah jarak di antara kedua pulau hati kita yang tengah rimbun kini. Padahal aku telah berniat untuk segera mungkin membangun jembatan Suramadu di antara hati kita. Biar batin kita menjadi lebih dekat, lekat, erat dan lebih hebat memikat. Namun apa nak dikata, kelapangdadaan untuk merelakan kepergianmu menjadi dewi fortuna yang lebih laik berperan di tengah geteran-getaran batinku untuk mengungkapkan perasaanku kepadamu.
Dan kepergianmu malam itu menjadi kepergianmu yang pertama sekaligus kepergian yang terakhir dari pandangan mataku. Sebab besok petang dan petang-petang selanjutnya, aku tak lagi menemukan senyum manis yang engkau simpulkan di antara bibir tipis serta lesung pipitmu. Engkau pergi membawa semua kisah senja yang kita ukir kemarin. Dan aku disini, di atas fondasi pantai Pulau Komodo, aku masih setia menantimu pulang membawa senyum itu. Pulang membawa seluruh cerita tentang penduduk di pulau ini, tentang komodo yang selalu kau idolakan dan tentang tali pancing yang terputus.
*****
Kupang, November 2010
[1] Nama lain dari pohon tuak. Buahnya bisa diolah menjadi tuak; minuman tradisional yang dapat menyebabkan mabuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar